-->

Makalah HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL


BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Sejarah Hukum Pidana Internasional sudah berlangsung lama. Pada tahun 1927, Liga Bangsa-Bangsa telah merintis dengan menetapkan perang agresi atau  war of agression merapakan International crime. Pernyataan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tersebut merupakan awal dari penyusunan kodifikasi dalam bidang Hukum Pidana Internasional. Perang Dunia II telah melahirkan berbagai tindak pidana baru yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani di antara negara anggota Liga Bangsa-Bangsa tersebut. Peristiwa tersebut memperkuat kehendak untuk mengajukan kembali gagasan pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasilonal pada tahun 1947.  
Di dalam era Teknologi Informasi seperti saat ini, perkembangan tindak pidana internasional semakin melewati batas ruang dan waktu. Untuk itu patut kita pelajari Hukum Pidana Internasional dimulai dari pengertian. kriteria-kriteria, jenis-jenis hingga aspek-aspek hukum Pidana Internasional.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Hukum Pidana Internasional ?
b. Apa saja Asas-asas Hukum pidana Internasional?
c. Apa saja jenis-jenis Tindak Pidana Internasional?
d. Apa saja Aspek-aspek Hukum Pidana Internasional?


II PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Pengertian Hukum Pidana Internasional menurut Georg Schwarzenberger,  yaitu:
1. Hukum Pidana Internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional (International criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) adalah Hukum Pidana Internasional memiliki lingkup kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional, akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan dan peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada yurisdiksi kriminal negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial negara tersebut.
2. Hukum Pidana Internasional dalam arti aspek internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana nasional (International criminal law in the meaning of internationally prescribed municipal criminal law) adalah Peristiwa-peristiwa tindak pidana dimana suatu negara yang terikat pada hukum internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana nasionalnya. Kewajiban-kewajiban ini dapat terjadi dan berasal dari perjanjian-perjanjian internasional atau dari kewajiban-kewajiban negara-negara yang diatur di dalam hukum kebiasaan internasional.
3. Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat di dalam hukum pidana nasional hukum pidana internasional (International criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law) adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional yang memberikan kewenangan atas negara nasional untuk mengambil tindakan atas tindak pidana tertentu dalam batas yurisdiksi kriminalnya dan memberikan kewenangan pula kepada negara nasional untuk menerapkan yurisdiksi kriminal di luar batas teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional. Tindak pidana tertentu menurut hukum internasional ini adalah piracy dan war crimes
4. Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentun hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (International criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilized nations) adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum pidana nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan kepentingan masyarakat internasional. Hukum pidana nasional tersebut harus memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi hak untuk hidup, kemerdekaan, dan hak kepemilikan dari warganya atau warga negara asing.
5. Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (International criminal law in the meaning of international cooperation in the administration of municipal criminal justice) adalah semua aktivitas atau kegiatan penegakan hukum pidana nasional memerlukan kerja sama antar negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Pengertian ini berkaitan erat dengan pengertian pertama. Bila setiap negara masih mengakui yurisdiksi teritorial hukum pidana nasional suatu negara, maka setiap penanggulangan tindak pidana yang bersifat transnasional atau intemasional dengan sendirinya hampir tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan atau kerjasama antara negara satu dengan lainnya. Bentuk kerjasama dalam praktek hukum Intemasional adalah ekstradisi
6. Hukum Pidana Internasional dalam arti kata materil (International criminal law in the material sense of the world) adalah objek pembahasan dari hukum pidana internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti pembajakan, agresi, kejahatan perang, genosida, dan perdagangan narkotika.


Hubungan Antara Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional
1. Kedua perangkat hukum tersebut mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan Negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat Negara.
2. Kedua perangkat hukum itu berlainan subjeknya. Subjek hukum nasional adalah perorangan, baik hukum perdata maupun hukum publik, subjek hukum internasional adalah negara
3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakan pula perbedaan dalam strukturnya.

Menurut  Mochtar kusumaatmajda (1989;41)
1. Tidak ada persoalan hirarki antara hukum nasional dan internasional karena pada hakekatnya, kedua perangkat hukum tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama lainnya, tapi juga lepas antara satu dan yang lainnya.
2. Sebagai konsekuensi logis dari keadaan sebagaimana digambarkan diatas, tidak akan mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang mungkin hanya penunjukan saja.
3. Bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan tranformasi menjadi hukum nasional sebelum berlakunya dalam lingkunga hukum nasional.

B.  ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
   
Asas-asas dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana internasional adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan  kesamaan derajat Negara-negara. Selanjutnya dari asas-asas tersebut yang paling utama ini dapat diturunkan beberapa asas lainnya yang secara umum sudah diakui didalam teori maupun praktek hukum dan hubungan internasional. Masing-masing asas tersebut meliputi :

2.1.     Asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat negara-negara
Asas inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan hukum internasional. Turunan asas-asas ini meliputi :
- Asas non intervensi,
- Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara,
- Asas hidup berdampingan secara damai ,
- Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia,
- Asas bahwa suatu Negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan didalam wilayah Negara lainnya.

Dari asas-asas inilah selanjutnya dapat diturunkan kaidah-kaidah hukum internasional yang lebih konkrit dan positif yang mengikat dan diterapkan terhadap subyek-subyek hukum internasional pada umumnya dan Negara-negara pada khususnya yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum internasional.

Dalam hubungannya dengan hukum pidana internasional, kaidah hukum pidana internasional yang secara konkrit dapat dirumuskan adalah, berupa larangan bagi suatu Negara untuk melakukan penangkapan secara langsung atas seseorang yang sedang berada di wilayah Negara lain yang diduga telah melanggar hukum pidana nasionalnya, kecuali Negara yang bersangkutan menyetujuinya, sebab tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan kemerdekaan, kedaulatan, dsan kesamaan derajat Negara-negara. Salah satu contoh pelanggaran asas ini adalah tindakan Israel yang menculik Adolf Eichmann untuk membawa dan mengadili beliau di Israel.

2.2.     Asas non-intervensi
Menurut asas ini, suatu Negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri Negara lain, kecuali Negara itu menyetujuinya secara tegas. Jika suatu Negara, misalnya, dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang gerjadi didalam suatu Negara lain tanpa persetujuan Negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi. Contoh konkrit dari pelanggaran asas non-intervensi adalah tindakan Israel mengintervensi Libanon pada tahun 1984 dan tindakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004.

2.3.    Asas hidup berdampingan secara damai
Asas ini menekankan kepada Negara-negara dalam menjalankan kehidupannya, baik secara internal maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup bersama secar damai, saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Apabila ada masalah atau sengketa yang timbul, antara dua atau lebih Negara, supaya diselsaikan secar damai. Wujud dari asas hiddup berdampingan secara damai adalah dapat dilihat dari pengaturan masalah-masalah internasional baik dalam ruang lingkup global, regional, maupun bilateral adalah dengan merumuskan kesepakatan,kesepakatan untuk mengatur masalah-masalah tertentu dalam perjanjian internasional.

2.4.     Asas penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
Asas ini membebani kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara-negara atau seseorang tidka boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Contoh, sebuah Negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam hukum pidana, seperti undang-undang anti terorisme, dan lain-lain. Tidak boleh ada ketentuan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Hal ini sudah tertuang dalam Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Anti Penyiksaan, adalah salah satu contoh konvensi dalam bidang hukum pidana internasional yang secara langsung berkenaan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

C. Jenis Kejahatan

1. Genosida
“Genosida” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya:
(a) Membunuh anggota kelompok tersebut;
(b) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut;
(c) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian;
(d) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut;
(e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.

2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan
 “kejahatan terhadap kemanusiaan” Suatu perbuatan apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, secara sengaja. Contohnya :
(a) Pembunuhan;
(b) Pemusnahan;
(c) Perbudakan;
(d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
(e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
(f) Penyiksaan;
(g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
(h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;
(i) Penghilangan paksa;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

3. Kejahatan Perang
a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak-milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan:
1. Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar;
2. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis;
3. Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan;
4. Perusakan meluas dan perampasan hak-milik, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan;
5. Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu Angkatan Perang lawan;
6. Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil;
7. Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah;
8. Menahan sandera.

(b) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatan-perbuatan berikut ini:
1. Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu;
2. Secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu, objek yang bukan merupakan sasaran militer;
3. Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada objek-objek sipil berdasarkan hukum internasional mengenai sengketa bersenjata;
4. Secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka-panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi;
5. Menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa, perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan objek militer;
6. Membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah menyerahkan diri atas kemauannya sendiri;
7. Memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau bendera atau lencana dan seragam militer dari pihak lawan atau milik Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tanda-tanda khusus dari Konvensi Jenewa, yang menyebabkan kematian atau luka-luka serius pada individu-individu tertentu;
8. Pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu sendiri maupun ke luar wilayah tersebut;
9. Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh bahwa tempat tersebut bukan objek militer;
10. Membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut;
11. Membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk pada bangsa atau angkatan perang lawan;
12. Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para tawanan;
13. Menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang yang tak dapat dihindarkan;
14. Menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya dalam suatu pengadilan hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak lawan;
15. Memaksa warga negara dari pihak yang bemusuhan untuk ambil bagian dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negaranya sendiri, bahkan kalau mereka berada dalam dinas lawan sebelum dimulainya perang;
16. Menjarah kota atau tempat, bahkan apabila tempat tersebut dikuasai lewat serangan;
17. Menggunakan racun atau senjata yang dibubuhi racun;
18. Menggunakan gas yang menyesakkan napas, beracun atau lain-lain dan semua cairan, bahan atau peralatan yang serupa;
19. Menggunakan peluru yang melebar atau menjadi rata dengan mudah di dalam badan seseorang, seperti misalnya peluru dengan selongsong keras yang tidak seluruhnya menutupi intinya atau yang ditusuk dengan torehan;
20. Menggunakan senjata, proyektil dan material serta metode peperangan yang merupakan suatu sifat yang dapat menimbulkan kerugian yang luar biasa besar atau penderitaan yang tidak perlu atau yang secara hakiki tidak pandang bulu dengan melanggar hukum internasional mengenai sengketa bersenjata dengan syarat bahwa senjata, proyektil dan material serta metode peperangan tersebut merupakan masalah pokok dari suatu larangan menyeluruh dan dimasukkan dalam lampiran kepada Statuta ini, dan dengan amendemen yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan relevan yang diatur dalam pasal 121 dan 123;
21. Melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia;
22. Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, kehamilan paksa, sebagaimana didefinisikan dalam pasal 7, ayat 2(f), sterilisasi yang dipaksakan, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa;
23. Memanfaatkan kehadiran seorang sipil dan orang lain yang dilindungi untuk menjadikan beberapa tempat, daerah atau pasukan militer tertentu kebal terhadap operasi militer;
24. Secara sengaja menujukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana yang jelas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
25. Secara sengaja memanfaatkan kelaparan orang-orang sipil sebagai suatu metode peperangan dengan memisahkan mereka dari objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk secara sadar menghambat pengiriman bantuan sebagaimana ditetapkan berdasarkan Konvensi Jenewa;
26. Menetapkan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertikaian.
Hukuman yang Dapat Diterapkan
1. Mahkamah Pidana Internasional dapat mengenakan satu di antara hukuman-hukuman berikut ini kepada seseorang yang dihukum atas suatu kejahatan internasional.
a. Hukuman penjara selama tahun-tahun tertentu, yang tidak melebihi batas tertinggi 30 tahun; atau
b. Hukuman penjara seumur hidup apabila dibenarkan oleh gawatnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang dihukum.
2. Di samping hukuman penjara, Mahkamah Pidana Internasional dapat memutuskan:
a. Denda berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam Hukum Acara dan Pembuktian;
b. Penebusan hasil, kekayaan dan aset yang berasal langsung atau tidak langsung dari kejahatan itu, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga.

D. Karakteristik Hukum  Pidana Internasional
Karakteristik dalam kedudukan substantif memiliki fungsi ganda karena Hukum Pidana Internasional harus mengandung unsur-unsur transnasional atau intemasional yaitu :
1) Unsur internasional, termasuk ke dalam unsur:
Ancaman secara langsung atas perdamalan dan keamanan di dunia (direct threat to world peace and security).
Ancaman secara tidak langsung atas perdamalan dan keamanan di dunia (indirect threat to ihe world peace and security).
Menggoyahkan perasaan kemanusiaan (shocking to the condence of humanity).
2) Unsur Transnasional, termasuk ke dalam unsur:
Tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dan satu negara (conduct offecting more than one state).
Tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara dan lebih satu negara (conduct induding or affecting citizens of more than one state).
Sarana dan prasarana serta metode-metode yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara (means and methods tranced national boundaries).
3) Unsur necessity : kebutuhan atas kerjasama antar negara-negara untuk melakukan penanggulanagan




Daftar pustaka
Hiariej, Eddy O. S. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama
Atmasasmita, Romli. 2003. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: Refika Aditama

0 Response to "Makalah HUKUM PIDANA INTERNASIONAL"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

IKLAN 2

Iklan Tengah Artikel 2

IKLAN 3

Iklan Bawah Artikel

IKLAN 4