MAKALAH PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL
MAKALAH
PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakangMenyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat diperlukan suatu pegangan atau pedoman dalam berkehidupan di masyarakat salah satunya yaitu dengan Norma, namun dibutuhkan perkembangan moral yang baik untuk mematuhi dan menyadari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dengan perkembangan moral yang baik akan membuat seseorang menjadi mampu untuk bersikap bijaksana dalam menyikapi kehidupan yang terus berkembang
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud paradigma perkembangan moral?
b. Apa yang dimaksud Paradigma Absolutistik?
c. Teori-teori apa saja yang ada dalam paradigma Absolutistik?
d. Apa yang dimaksud Paradigma Relativistic?
e. Teori-teori apa saja yang ada dalam paradigma Relativistic?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Mahasiswa memahami paradigma perkembangan moral
b. Mahasiswa memahami Paradigma Absolutistik
c. Mahasiswa mengetahui Teori-teori dalam paradigma Absolutistik
d. Mahasiswa memahami Paradigma Relativistic
e. Mahasiswa mengetahui Teori-teori dalam paradigma Relativistik
Bab II
Pembahasan
1. Pengertian Paradigma perkembangan moral
Kata paradigma secara etimologis diartikan sebagai pola, modal, kerangka. Menurut Thomas S. Kuhn (1987: 187) paradima merupakan keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai teknik dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat tertentu. Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari ringgi rendahnya moral sesorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Jadi paradigma perkembangan moral adalah pola, model, kerangka tentang ukuran dari ringgi rendahnya moral sesorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Secara umum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu Paradigma Absolutistik dan Paradigma Relativistik
A. Paradigma Absolutistik
Paradigma absolutistik memandang bahwa baik dan buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah. Suatu perilaku yang dianggap baik, bukan kadang baik dan kadang tidak baik. Pandangan absolute menganggap bahwa baik dan buruk itu bersifat mutlak, sepenuhnya, dan tanpa syarat. Menurut pandangan ini perbuatan mencuri ini itu sepenuhnya tidak baik, sehingga orang tidak boleh mengatakan bahwa dalam keadaan terpaksa, mencuri itu bukan perbuatan yang jelek. Demikian pula halnya dengan pandangan yang universal, prinsip-prinsip moral itu berlaku dimana saja dan kapan saja. Prinsip-prinsip moral itu bebas dari batasan ruang dan waktu. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa persoalan moralitas itu sifatnya.
Perkembangan moral dalam tinjauan paradigma absolutistic, menurut Liebert (1992: 288), lebih memperhatikan kemajuan dalam tingkatan atau tahapan perkembangan moral berkaitan dengan perkembangan moral insani yang berlaku secara universal. Istilah umum dikenal dari paradigma ini adalah adanya “pertimbangan moral” yang dimaksudkan sebagai ukuran untuk menentukan landasan “penalaran moral” dari para subyek sehingga memperlihatkan bahwa dasar dari penalaran itu berubah selaras dengan tingkatannya. Pertimbangan moral ditunjukan kepada sejumlah pertanyaan mengenai dilema moral yang hipotetis.
1. Teori Piaget
Jean piaget (1896:1980) menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenal sebagai teori structural-kognitif. Teori ini melihat perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksanaan aturan, pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan yang menunjukkan esensi moralitas itu. Focus teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari individu terhadap perangkat aturan yang bersangkutan (Kurtines, 1992:513). Teori struktur-kognitif piaget dibangun berdasarkan penelitiannya mengenai struktur kognitif dan perkembangan penalaran moral yang termuat dalam karya klasiknya. Piaget melakukan penilitian dengan mengamati anak-anak yang bermain kelereng. Pengamatan piaget menunjukkan adanya kontradiksi yang jelas antara perubahan persepsi yang berkaitan dengan usia dan ketaatan terhadap aturan. Kontradiksi yang dimaksud diselesaikan dengan jalan mengklarifikasikan penalaran moral dan anak-anak yang agak kecil dan yang agak besar (Burton, 1992:323-324). Berdasarkan penilitian itu dirumuskan dua buah aturan perkembangan yang parallel, satu rumusan urutan perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan aturan, sedang rumusan lainnya berkenaan dengan kesadaran akan peraturan. Masing-masing urutan perkembangan melukiskan adanya peralihan dari orientasi yang bersifat eksternal, egosentris, dan heteronom, kearah orientasi yang menunjukkan adanya keinginan untuk bekerja sama dan perpegangan pada aturan itu sebagai hasil perjanjian bersama (Turiel dan Smetana, 1992:459). Pengamatan piaget tersebut dapat diringkaskan dalam skema sebagai berikut (Atmaka, 1981 dalam Soenarjati dan Cholisin, 1989:34). Secara rinci skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pada Level I
Pada anak sekitar usia 1 sampai 2 tahun, pelaksanaan peraturan masih bersifat motor activity, belum ada kesadaran akan adanya peraturan. Semua geraknya masih belum dibimbing oleh pikiran tentang adanya peraturan yang harus ditaatinya.
b. Pada Level II
Pada usia sekitar 2 sampai 6 tahun, sudah mulai ada kesadaran akan adanya peraturan, namun menganggap peraturan itu bersifat suci, tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, merubah peraturan merupakan kesalahan besar. Dalam pelaksanaan peraturan mereka ini masih bersifat egosentrik berpusat pada dirinya.
c. Pada Level III
Pada usia sekitar 7 sampai 10 tahun pelaksanaan peraturan sudah mulai bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat untuk memahami peraturan, dan setia mengikuti peraturan tersebut. Sifat heteronomi mulai bergeser pada sifat otonomi.
d. Pada Level IV
Pada usia sekitar 11 sampai 12 tahun kemampuan berpikir anak sudah mulai berkembang. Pada tahap ini sudah ada kemampuan untuk berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap kodifikasi atau tahap pemantapan peraturan (Soenarjati dan Cholisin, 1989: 34-35).
Dari skema di atas tampak bahwa keputusan moral anak berubah seiring dengan pertumbuhan usianya (Conn, 1982: 378). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan moral terdapat pergeseran yang sifatnya alami, yang terjadi secara bersamaan dengan atau segera setelah peralihan kognitif dari pemikiran praoperasional ke arah pemikiran operasional, disekitar usia tujuh tahun. Pergeseran tersebut berlangsung sedemikian, sehingga anak yang bersangkutan untuk pertama kalinya menyadari maksudnya sendiri serta memanfaatkan informasi ini dalam mengadakan pertimbangan moral yang menyangkut orang lain (Liebert, 1992: 291)
Pada bagian lain, pertimbangan moral berkembang sejalan dengan prinsip-prinsip Piaget tentang konflik moral-kognitif dengan organisasi tahapan urutan. Tahapan perkembangan pertimbangan moral Piaget mengandung suatu proses berjalur tunggal. Artinya, pertimbangan moral tidak timbul dari tindakan moral itu sendiri. Suatu tahapan dari pertimbangan moral mungkin mengandung suatu perilaku baru, demikian pula halnya suatu tindakan yang mengandung konflik dan pilihan mungkin membawa orang untuk menata suatu tahapan baru dari pertimbangan moral.
Piaget membedakan antara moral praktis dengan moral verbal dari pertumbuhan anak. Menurut piaget (1932), “moral verbal selalu saja muncul, setiap kali si anak diminta untuk menimbang tindakan orang lain yang tidak langsung menarik perhatiannya atau memaksanya untuk mengemukakan pendapatnya terhadap prinsip-prinsip umum, lepas dari perbuatannnya yang actual” (Kolberg dan Candee, 1992: 87).
Sedangkan moralitas praktis merupakan pemikiran moral yang efektif, yang menyebabkan anak membuat pertimbangan moral yang serupa yang akan membuat pertimbangan moral yang serupa yang akan membimbingnya dalam setiap kasus khusus. Pertimbangan-pertimbangan tersebut mencerminkan pemikiran anak yang sebenarnya, jauh lebih dalam dibandingkan dengan kepercayaan-kepercayaan yang dikatakannya (yang verbal) dan berada di bawah tahapan formula yang dinyatakan secara lisan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu permasalahan moral yang secara teoritis dihadapi seorang anak berbeda dengan praktik moralnya seperti halnya suatu permasalahan intelektual berbeda dengan praktik logisnya (kolberg dan canned, 1992:87).
2. Teori Kohlberg
Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg merupakan pengembangan teori structural-kognitif yang telah dilakuakan piaget sebelumnya. Di atas bangunan teori piaget itu, Lawrence Kohlberg mengusulkan suatu teori perkembangan pemikiran moral (teori development-cognitive). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu melalui sebuah urutan berbagai tahapan (invariant sequence of stages) moral. Tiap-tiap tahap ditandai oleh struktur mental khusus (distinctive) yang diekspresikan dalam bentuk khusus penalaran moral (kneller, 1984: 110).
Berdasarkan penelitiannya yang cukup lama, Kohlberg mengidentifikasikan enam tahap yang terbagi ke dalam tiga level perkembangan pemikiran moral. Kemudian, Kohlberg menyempurnakannya menjadi tujuh tahap. Kemudian, Kohlberg menyempurnakannya menjadi tujuh tahap. Keseluruhan tahap itu secara ringkas sebagai berikut.
A. Tahap prakonvensional = anak tidak memiliki ide tentang aturan-aturan atau standar moral.
1. Tahap 1 anak melakukan perbuatan baik semata-semata untuk menghindari hukuman,
2. Tahap 2 anak akan mematuhi apapun sepanjang memenuhi kepuasan/kebutuhan sendiri ataupun orang lain.
B. Tahap konvensional anak menghormati moralitas sebagai seperangkat aturan sosial dan harapan-harapan sosial.
3. Tahap 3 perbuatan baik adalah perbuatan yang membuat orang senang dan orang lain setuju atas apa yang diperbuatnya
4. Tahap 4 perbuatan baik dilakukan dengan menjalankan kewajiban dan menghormati otoritas.
C. Tahap pascakonvensional/principled ini moralitas konvensional dirumuskan ke dalam nilai-nilai moral yang lebih dalam.
5. Tahap 5 seseorang percaya bahwa dengan dan melakukan sesuatu yang benar secara luas untuk mendukung kesejahteraan umum.
6. Tahap 6 tindakan yang benar adalah berbuat mengikuti prinsip-prinsip universal keadilan dan menghormati di dalam diri mereka sendiri.
7. Tahap 7 orientasi religius menggabungkan prinsip-prinsip tersebut dengan suatu perspektif di atas puncak makna kehidupan (life is ultimate meaning) (kneller, 1984: 110).
Menurut Kohlberg (Kneller 1984: 110-111), tiap-tiap pertimbangan moral adalah produk dari sebuah perbedaan struktur kognitif, yaitu suatu pengorganisasian system asumsi-asumsi dan aturan-aturan tentang situasi konflik moral yang memberikan situasi makna terhadap asumsi dan aturan tersebut. Struktur kognitif tidak terjadi karena pembawaan, merupakan hasil interaksi organisme manusia dengan lingkungan sosialnya. Fungsi pertimbangan moral adalah untuk memecahkan konflik-konflik klaim-klaim pribadi dengan lainnya.
Kohlberg mengklaim bahwa teorinya (tentang perkembangan moral) tidak hanya menjadi psikologi, tetapi juga filsafat moral. Teorinya menyatakan tidak hanya bertindak dalam fakta melebihkan tahap tertinggi dari pertimbangan (moral) mereka secara keseluruhan, tetapi juga bahwa tahap ini adalah secara objektif dapat lebih baik atau lebih memadai daripada tahap sebelumnya dengan criteria moral yang pasti. Kohlberg mengatakan bahwa criteria tersebut mencakup kroteria diferensiasi dan integrasi formal. Di dalam tiap-tiap tahap hak dan kewajiban menjadi lebih terdiferenssiasi dan terintegrasi. Contohnya, pada tahap 5 orang dipertimbangkan untuk mempunyai hak-hak alaminya bahwa masyarakat seharusnya (ought to) menghormatinya. Sementara itu, hak-hak alami menjadi terdiferensiasi dari pemberian hak-hak secara sosial. Kembali pada tahap 6, hak-hak yang orang miliki dengan sendirinya menciptakan kewajiban dalam berhubungan dengan orang lain. Di sini hak dan kewajiban menjadi korelatif secara lengkap (completely correlative) dan menjadi terintegrasi lebih baik daripada tahap-tahap sebelumnya, di mana kewajiban-kewajiban adalah apa yang orang terikat perjanjian/kontrak untuk memenuhi ketertiban supaya menghormati hak-hak yang lain miliki (Kneller, 1984:111-112).
Sebagaimana telah dikatakan di atas, rumusan tahap perkembangan pemikiran moral Kohlberg mulanya hanya terdiri atas enam tahap. Akan tetapi, ketika sampai pada tahap 6 muncul pertanyaan “mengapa menjadi moral?” atau mengapa menjadi adil dalam suatu jagat yang secara luas tidak adil?”, tahap 6 Kohlberg hanya puas pada tahap 6 sebagai tahap tertinggi pertimbangan moral. Akan tetapi, dalam beberapa dekade setelah mengalami serangan kritik hebat, sebelum Kohlberg meninggal dunia, akhirnya Kohlberg menemukan dimensi religius dalam teori perkembangan moralnya. Kohlberg berupaya untuk menggunakan pertimbangan religius untuk postulat bersifat metaforis tahap 7 sebagai jawaban untuk masalah-masalah tak terpecahkan yang ditinggalkan oleh tahap 6, Kohlberg tentang orientasi religius tidak tetapi merubah definisi prinsip-prinsip universal keadilan moral tahap 6, tetapi mengintegrasikan prinsip-prinsip ini dengan suatu perspektif di atas puncak makna kehidupan (life is ultimate meaning). Menurut Kohlberg, tahap 7 bisa jadi berisikan “berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Allah, yakni tindakan pengorbanan cinta serta persaudaraan untuk manusia. Dengan begitu, menurut Kohlberg, tahap 7 akan menjadi orientasi etika muncul dari perkembangan dalam eksistensi atau pengalaman religius dan pemikiran dari pada pengalaman moral semata. Dari aspek ini, maka sudah tidak diragukan lagi bahwa orientasi agama dalam pengembangan pendidikan moral di Indonesia di masa depan.
B. Paradigma relativistic
Paradigma relativistic didasari oleh pandangan, bahwa baik dan buruknya suatu perilaku itu sifatnya tergantung, dalam arti konteksnya, cultural, situasinya, atau bahkan tergantung pada masing-masing individu. Dari dimensi ruang, apa yang dianggap baik bagi lingkungan masyarakat tertentu, belum tentu dianggap baik pada masa-masa lalu.
Perkembangan moral dalam paradigma relativistik ditampilkan oleh pendekatan behavioral-kognitif. Dalam Teori pendekatan behavioral-kognitif, masalah perkembangan moral didekati dari sudut pandangan pribadi secara individual, pribadi individu yang dipandang sebagai suatu organisme biologis yang perilaku verbal dan substansialnya dibentuk berdasarkan hukum sebab akibat (causality). Pendekatan ini berasumsi bahwa perilaku verbal dan substansial dalam suasana moral, berada di bawah pengaruh langsung dari berbagai konsekuensi yang dihayati atau diantisipasi secara obyektif maupun secara subyektif. Mirip dengan tahapan perkembangan moral Kohlberg yang bersifat heteronomy, setiap perilaku itu terarah untuk mendapatkan hadiah dan menghindarkan hukuman, mendapat pujian atau memastikan diri untuk mendapatkan keuntungan dalam kerangka perhitungan interaksi sosial (liebert, 1992: 300-301).
Menurut pendekatan behavioral kognitif, apa yang berkembang dalam perkembangan moral ialah sofistifikasi (pecagihan) moral. Sofistifikasi moral berisi bagaimana minat diri dalam jangka panjang dapat ditelusuri secara efektif, dengan menggunakan alat yang langsung maupun tidak langsung. Perkembangan moral menurut pendekatan behavioral kognitif menjadikan Sofistifikasi moral sebagai suatu kemampuan manusia mengambil pelajaran yang diharapkan dapat menggarisbesarkan pandangan moralnya dalam situasi-situasi tertentu dan mungkin pula ia dapat dari berbagai situasi yang dialaminya.
Dilihat dari variabel usia dan berbagai demografis, pendekatan behavioral kognitif menafsirkan pertautan ini lebih merupakan akibat perbedaan informasi, pengetahuan dan kelompok demografis dan bukan atas dasar tahapan kebaikan yang melandasinya, selain itu, kematangan moral mencakup ekspresi dan berbagai upaya jangka panjang untuk dapat hidup secara lebih pragmatis yang berpengaruh terhadap minat dirinya (liebert, 1992: 300-301)
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Paradigma perkembangan moral adalah pola, modal, kerangka tentang ukuran dari ringgi rendahnya moral sesorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Secara umum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu Paradigma Absolutistik yang memandang bahwa baik dan buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah dan Paradigma Relativistik yang memandang bahwa baik dan buruknya suatu perilaku itu sifatnya tergantung. Dalam Paradigma Absolutistik terdapat teori Piaget dan teori Kohlberg dan dalam Paradigma Relativistik terdapat Teori pendekatan behavioral-kognitif
B. Saran
Dengan mempelajari paradigma perkembangan moral, mahasiswa akan mampu menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat dan khusus untuk calon guru ppkn akan sangat membantu dalam membentuk peserta didik yang sadar akan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan akan lebih mudah untuk membentuk moral peserta didik yang baik.
Daftar Pustaka
AR Muchson dan Samsuri. 2015. Dasar-dasar pendidikan moral. Penerbit Ombak : Yogyakarta
www.Yunifirwinda.blogspot.co.id/perkembangan-moral
0 Response to "MAKALAH PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL"
Posting Komentar